Seusai melaksanakan Forum Group Discussion (FGD) I beberapa waktu lalu, kembali Sekretariat Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA Nasional) memfasilitasi pelaksanaan FGD II Sistem Informasi Hidrologi, Hidrometeorologi dan Hidrogeologi (SIH3) di Kota Hujan – Bogor, Jawa Barat (31/7).
Pada FGD I lalu, para peserta rapat yang terdiri dari anggota Tim Penyusun Kebijakan Pengelolaan SIH 3, nara sumber dan dua orang selaku tenaga ahli, yaitu Hery Haryanto – Hidrometeorologi dan Joesron Loebis – Hidrologi, telah mendengarkan pemaparan dari para pengelola data dan informasi H3 di tingkat Pemerintah Pusat.
Beberapa instansi yang memaparkan pada FGD I itu antara lain, Ditjen SDA – Dep. Pekerjaan Umum (PU), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) – Departemen Perhubungan, Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi – Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Departemen Pertanian dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Berbeda dengan FGD I, pada FGD II kali ini para peserta rapat tersebut mendengarkan pemaparan dari pengelola data dan informasi di tingkat daerah. Misalnya saja, pemaparan dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua, Dinas ESDM dan Dinas PSDA Provinsi Jawa Timur, Balai PSDA (Balai Besar Wilayah Sugai (BBWS) Mesuji – Sekampung) Provinsi Lampung, Balai Informasi SDA – NTB, Dinas PSDA Provinsi Sulawesi Selatan dan Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat.
Pemetaan Isu
Setelah mendengarkan pemaparan dari para penyaji dalam FGD II ini dan beberapa masukan dari para peserta rapat, Tim Penyusun Kebijakan Pengelolaan SIH3, nara sumber dan tenaga ahli telah menyusun mapping – pemetaan berbagai isu yang terdapat di tingkat daerah.
Isu yang berhasil di susun dan dipetakan terdiri dari enam isu pokok, yaitu mengenai kelembagaan, kewenangan, pengelolaan, pembiayaan, teknologi dan peran masyarakat di daerah.
Mengenai kelembagaan, telah di simpulkan bahwa penyelenggaraan data dan informasi H3 ditingkat daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan, konvensi, keputusan menteri, dan peraturan daerah.
Dengan demikian penyelelenggara data dan informasi H3 di daerah adalag BMKG, Dinas PSDA, Balai PSDA, BWS, Balai Informasi SDA, Dinas ESDM, BUMN dan juga pihak swasta.
Namun demikian, seringkali muncul konfik kepentingan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, antara pengelola atau penyedia data dan infromasi H3 dengan para penggunanya.
Umpamanya saja, di Provinsi Jawa Timur ada lima instansi pengelola data dan informasi H3, yaitu Dinas PSDA, Dinas ESDM, Dinas Cipta Karya, Dinas Pendapatan Daerah, dan instansi penggunaan air tanah di Kabupaten/Kota.
Hal ini bisa terjadi dikarenakan masih terasa sulitnya memperoleh data dan informasi H3 dari instansi pengelola. Di sisi lain, pihak pengelola sering terbentur akan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas.
Oleh karena itu, di perlukan suatu lembaga yang dapat membina secara teknis, kelembagaan dan SDM agar ketersediaan data dan informasi H3 lebih akurat dan cepat tersaji.
Untuk isu kewenangan antara lain di identifikasikan, bahwa dengan adanya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Dinas PSDA dan Dinas ESDM saat ini berada di bawah Departemen Dalam Negeri.
Dengan demikian kewenangan mengelola data dan informasi H3 tidak optimal dilaksanakan. Pasalnya, pengelolaan data dan informasi H3 ini belum mendapatkan skala prioritas dan hanya sebagai kegiatan sampingan.
Munculnya keinginan agar pengelolaan hidrologi dapat digabungkan dengan BMKG. Begitu juga ada keinginan agar air permukaan dan air tanah dapat dikelola secara terpadu – conjuntive used.
Sedangkan mengenai pengelolaannya, keakurasian data yang ada masih diragukan dikarenakan pengamatan data diserahkan kepada perseorangan yang diperkirakan mempunyai kualifikasi sebagai pengamat. Sehingga seringkali menyimpan atau mempergunakan data yang kurang akurat atau cenderung salah.
Perlunya rasionalisasi jaringan pos hidrologi dikarenakan masih tidak sesuainya penempatan alat atau lokasi dengan persyaratan yang ada. Dan juga perlunya kalibrasi perlatanan secara berkala dan peremajaan peralatan sesuai kemajuan teknologi.
Demikian halnya dengan pemenfaatan air tanah yang saat ini bukan bertujuan untuk melaksanakan konservasi, melainkan hanya mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata.
Pemanfaatan air tanah saat ini juga masih digunakan oleh masing-masing sektor yang tidak berdasarkan reguasi yang ada. Karena itu, pemanfaatan air tanah supaya dilakukan dengan metoda recycling.
Selain itu agar fungsi air tanah ini terus berlanjut dan berkesinambungan, maka perlu adanya pengembangan database dan sistem informasi air tanah. Juga diperlukan penelitian potensi Cekungan Air Tanah (CAT) lintas kabupaten/kota.
Sementara untuk teknologi, penggunaan software sampai saat ini untuk pengolahan data dan informasi dengan mempergunakan PERDAS, HYMOS, TIPEDA, HITA dan NEO PERDAS.
Begitu juga, belum adanya teknologi informasi mengenai air tanah. Namun di Jawa Barat, telah mengembangkan teknologi telemetering untuk sumur pantau. Dimana dari 98 sumur pantau, sekitar 17 sumur pantau telah dilengkapi telemetering.
Mengenai pembiayaan, untuk Provisni Jawa Timur dan NTB, pengolahan data dan informasi hidrologi dan hidrogeologi telah dialokasikan dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setempat.
Sementara untuk Provinsi Jawa Barat, mengenai pemanfaatan dan penggunaan air tanah, karena keterbatasn dana yang tersedia diusulkan agar mengenakan sistem restribusi. Pasalnya, kalau dikenakan pajak, dananya bisa dipergunakan untuk kegiatan lainnya tidak difokuskan untuk pengelolaan air tanah.
Sedangkan mengenai peran masyarakat, dibeberap tempat masyarakat masih secara sukarela menjadi mandor pengamat yang mengharapkan adanya honor dari pengelola data dan informasi hidrologi.
Hal ini dikhawatirkan data dan informasi yang didapat kurang akurat, dikarenakan mandor pengamat ini masih belum mengetahui dan memahami kegunaan data yang dibuat tersebut.**