Setelah mendengar pemaparan dari Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Papua, Ir. Happy Mulya ME, mengenai rancangan pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (PSDA WS) Mamberamo-Tami-Apauvar (MTA) dan Einlanden-Digul-Bikuma (EDB) yang merupakan WS Lintas Negara, tim anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA Nasional) yang difasilitasi Sekretariat Dewan SDA Nasional melanjutkan diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak terkait di Kota Jayapura – Provinsi Papua (9-11/4).
Tim anggota Dewan SDA Nasional yang tergabung dalam Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan Rancangan Pola Pengelolaan SDA WS Lintas Negara ini, akan bertugas, antara lain mencermati rancangan pola PSDA WS lintas negara yang disiapkan BWS yang bersangkutan, menyampaikan substansi untuk perbaikan dan penyempurnaan rancangan pola PSDA WS lintas negara serta menyiapkan masukan untuk penyusunan perjanjian PSDA dengan negara yang bersangkutan.
Dengar Langsung
Dalam pengantarnya, Anggota Dewan SDA Nasional dari unsur non Pemerintah, Ir. Hilman Manan, Dipl. HE menjelaskan, bahwa tujuan pertemuan ini berkaitan dengan pelaksanaan Rencana Kerja Dewan SDA Nasional yang akan ditetapkan melalui keputusan Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Dewan SDA Nasional untuk melaksanakan identifikasi permasalahan SDA pada WS MTA dan WS EDB, yang mana pada tahun lalu telah dilaksanakan identifikasi pada WS Noelmina di Provinsi NTT.
“Sesuai dengan amanat yang kita terima bersama, pada kesempatan ini kita akan mendengarkan paparan dari Kepala BWS Papua mengenai rancangan Pola PSDA WS MTA dan Pola PSDA WS EDB. Juga mendengarkan masukan-masukan dari stakeholder yang ada didaerah secara langsung,” katanya.
Hasil dari pertemuan ini, Hilman Manan menyatakan, berupa rekomendasi dari Dewan SDA Nasional yang akan disampaikan kepada Presiden dan lembaga pemerintah yang punya kompetensi di bidang itu, yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Kementerian Luar Negeri.
“Rancangan pola pengelolaan SDA di WS MTA maupun EDB ini diharapkan sudah dilakukan konsultasi publik. Jika belum maka bisa mendapatkan masukan dari stakeholder terkait, yaitu pemerintah provinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan masyarakat pada umumnya,“ tuturnya.
Selain itu, Hilman Manan juga mengharapkan, agar rancangan pola PSDA yang sudah tersusun tersebut, bisa menjadi acuan ke depan dalam pengembangan wilayah maupun pengelolaan SDA di Provinsi Papua.
“Kalau sudah ditetapkan nantinya, maka tentunya akan menjadi pedoman kita bersama untuk melakukan koordinasi lintas instansi maupun lembaga dalam pengembangan wilayah di masing-masing wilayah sungai ini,” tegasnya.
Hilman Manan menyampaikan, bahwa pola PSDA WS tersebut merupakan kerangka dasar di dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi, pelaksanaan kegiatan konservasi SDA, Pendayagunaan SDA dan Pengendalian Daya Rusak air dengan basis wilayah sungai dan bukan wilayah adminsitrasi.
“Dalam PP 42/2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, dijelaskan bahwa Dewan SDA Nasional ikut bertanggungjawab dalam penyusuan Pola Pengelolaan SDA, khususnya untuk WS Lintas Negara,” ucap Hilman.
Hadir dalam konsultasi tersebut selain anggota Dewan SDA Nasional dari unsur pemerintah, yaitu wakil Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ir. Purba Robert Sianipar, MSCE, MSEM, Ph.D dan wakil Kementerian PU, Indera Kurniawan, ST, M.Sc, dari unsur non pemerintah lainnya, yaitu Ir. Indro Tjahyono (Skephi), Ir. Koeswanto (LP3ES), dan Ir. Imam Mustofa (HKTI), juga wakil dari BNPP, Antonius Bambang Widiyawan.
Lintas Negara
Terkait dengan konsultasi publik mengenai pola PSDA di kedua WS tersebut, Happy Mulya mengatakan, bahwa BWS Papua sudah melaksa nakannya satu tahun sebelumnya, baik untuk Pola WS MTA maupun WS EDB.
“Sudah kami lakukan. Sudah ada Pertemuan Konsultasi Masyarakat (PKM), baik di Kota Jayapura maupun di Merauke mengenai rancangan Pola PSDA WS TMA dan Pola PSDA WS EDB,” katanya.
Menurut Happy Mulya, kedua WS tersebut, yaitu WS MTA dan WS EDB merupakan WS Lintas Negara yang pengelolaannya berdasarkan Keppres 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, menjadi kewenangan BWS Papua.
“Jadi BWS Papua mengelola dua WS Lintas Negara. Pertama, di wilayah utara yang dikenal dengan WS MTA, yang merupakan WS lintas Negara, dimana sebelah timurnya berbatasan dengan negara Papua Nugini. Kedua, sebelah selatan WS EDB yang juga berbatasan dengan Papua Nugini,” ujarnya.
Di kedua WS tersebut, Happy Mulya menyampaikan, memang ada berbagai permasalahan yang terkait dengan SDA. Antara lain, pada WS MTA di Kota Jayapura yaitu terjadi sedimentasi di Bendung Tami.
“Sedimen di Sungai Tami cukup besar sekali, padahal di sana ada Bendung Tami. Sehingga setiap tahun harus dilaksanakan kegiatan O&P. Juga ada banjir di daerah transmigrasi Arso, lahan kritis di Puncak Cyclops dan perbukitan sekitar Jayapura, dan puncak Jayawijaya,” tuturnya.
Sedangkan di WS EDB, Happy Mulya meyampaikan, bahwa terjadi pencemaran pada Sungai Fly yang merupakan anak sungai dari WS EDB, dimana bagian hulu dan hilir sungainya berada di Indonesia dan bagian tengah sungai berada di Paupua Nugini.
“Sungai Fly di Indonesia panjangnya mencapai 150 km. Terjadi pencemaran di sungai tersebut yang diduga akibat adanya penambangan di bagian tengahnya yang berada di Papua Nugini. Diperkirakan sekitar dua juta ton sedimen yang masuk ke sungai ini,” jelasnya.
Selain itu, Happy Mulya menuturkan, sebagai akibat p encemaran Sungi Fly ini dikhawatirkan juga akan mencemari aquifer Cekungan Air Tanah (CAT) yang dapat mengg anggu kesehatan masyarakat.
“Bisa saja dalam jangka panjang akan mencemari CAT di sana. Begitu juga potensi tenaga listrik WS EDB ini juga cukup besar yaitu 1.179 Mega Watt namun belum optimal di manfaatkan,” ungkapnya.
Warisan
Sementara itu wakil dari BNPP, Bambang Widiyawan menjelaskan, bahwa wilayah perbatasan Republik Indonesia (RI) – Papua Nugini (PNG) adalah distrik terluar dimana ada di Kota Jayapura, Distrik Muara Tami di Kab. Keerom, Arso Timur, Senggi, Web, Pegunungan Bintang, dan Toe Hitam.
“Batas negara RI dan PNG adalah warisan perbatasan Belanda dengan Inggris dan sudah ada perjanjiannya mengenai koordinatnya. Penegasan perbatasan dimulai tahun 1966. Panjang garis dari utara-selatan 770km, batas darat 663 km dan sebagian barupa sungai yaitu Sungai Fly 150 km,” ucapnya.
Mengenai perbatasan dengan PNG, Bambang menjelaskan, sebelumnya sudah ada tugu atau pilar batas sebanyak 14 meridien monumen (pilar tinggi). Kemudian dilakukan perapatan pilar batas mejadi 52 buah dan selanjutnya dilaksanakan perapatan pilar batas lagi menjadi 1.792 buah.
“Mengenai batas, setelah RI melakukan survei di lapangan pihak PNG menolak untuk melakukan survei lapangan. Kemungkinan lokasi survei batas di RI lebih mudah di jangkau bila dibandingkan dengan PNG,” katanya.
Selanjutnya Bambang Widiyawan menyampaikan, bahwa berdasarkan amanat di dalam Joint Border Committee (JBC) pihak RI dan PNG bersama-sama untuk melakukan survei di Sungai Fly dan Sungai Torasi.
“Sungai Fly mengenai pencemaran dan abrasi, kalau Sungai Torasi di Selatan mengenai perbedaan pengukuran batas yang menyebabkan salah persepsi dari pihak PNG tentang keberadaan pos lintas batas RI yang ada di Muara Torasu dan juga menara suar disitu. Mereka anggap masuk wilayahnya, akan tetapi sebetulnya masuk wilayah kita,” ungkapnya.
Mengenai pencemaran yang terjadi di Sungai Fly, Bambang Widiyawan senada dengan Happya Mulya, bahwa penyebab pencemaran dikarenakan adanya aktifitas Oktedi Minning yang berlokasi di Lembah Oktedi – Kaki Gunung Fubilan di wilayah PNG.
“Tentang pencemaran Sungai Fly dalam perundingan RI-PNG, merekalah yang mengajukan protes. Karena tambangnya adalah milik Australia, mereka tidak berani langsung protes ke Australia karena tujuannya adalah meminta ganti rugi. Oleh sebab itu mereka protes melalui forum RI-PNG. Kemudian Australia mendengar dan memberi ganti rugi kepada PNG, sedangkan RI tidak diberikan ganti rugi,” tuturnya.
Terkait dengan hal tersebut, Bambang Widiyawan menambahkan, bahwa yang jelas pencemaran Sungai Fly itu juga sampai ke wilayah Indonesia meskipun pencemaran itu tidak banyak dirasakan penduduk, dikarenakan lokasinya memang jarang ada permukiman penduduk.
“Sebetulnya pencemaran ini sudah dibicarakan antara tim RI (BNPP dan Kementerian Lingkungan Hidup) dengan tim PNG. Tim RI untuk menguji pencemaran tidak bisa masuk ke daerah tersebut. Kesulitannya adalah jalan yang kurang baik dan dengan menggunakan helikopter juga tidak bisa. Untuk pencemar an kita tidak bisa mengujinya secara langsung, namun melalui citra satelit bisa terlihat,” ujarnya.
Perumusan
Setelah mendengar paparan Kepala BWS Papua, paparan wakil dari BNPP dan masukan dari para aparat pemerintah Kabupaten dan Kecamatan di wilayah perbatasan dengan PNG, serta dilanjutkan dengan diskusi, Tim Dewan SDA Nasional telah menyepakati beberapa perumusan masalah terkait pengelolaan SDA di wilayah perbatasan yang masih bersifa t sementara dan masih perlu penajaman dan penyempurnaan kembali nantinya.
Untuk WS MTA, antara lain telah diindikasikan terjadi peningkatan sedimentasi di Sungai Tami yang dikhawatirkan akan mengganggu kinerja dan umur dari Bend ung Tami yang bertipe gergaji.
Selain itu juga terindikasi, bahwa dengan semakin tingginya tingkat sedimentasi di Sungai Tami, maka terjadi fluktuasi banjir di sepanjang aliran sungai tersebut, terutama di kawasan perbatasan wilayah RI.
Sedangkan untuk WS EDB, antara lain diindikasikan terjadinya pencemaran di Sungai Fly yang diduga sebagai dampak dari kegiatan pertambangan emas di PNG, sehingga perlu dilakukan survey dan investigasi untuk mengumpulkan bukti adanya pencemaran di wilayah RI.
Diindikasikan pula adanya potensi ancaman terjadinya pencemaran dari kemungkinan adanya kegiatan pertambangan emas di wilayah Pegunungan Bintang yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Digul.
Kemudian berdasarkan citra satelit, diduga terjadi erosi tebing Sungai Fly yang dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai dan keberadaan pilar batas negara, serta terjadi sedimentasi di sepanjang Sungai Fly yang diperkirakan sebesar 2 (dua) juta ton pertahun yang diduga akibat kegiatan penambangan emas di PNG.
Akibat sedimentasi tersebut menyebabkan banjir dan genangan pada Rawa Mandom, Rawa Caruk, dan Rawa Barki, sehingga permukaannya menjadi lebih tinggi dan melimpah ke sungai-sungai disekitarnya yaitu Sungai Digul, Maro, Biyan, dan Sungai Kum.
Sebagai akibat dari sedimentasi dan pencemaran di Sungai Fly tersebut, berdampak ekologis lain terhadap habitat rawa dan penurunan kualitas air baku di sumber-sumber air pada kawasan DAS Digul dan DAS Maro.
Indikasi lainnya adalah Cekungan Air Tanah (CAT) Timika-Merauke yang merupakan CAT lintas negara ikut tercemar dan berpotensi mencemari sungai-sungai yang berada di wilayah RI, sungai batas negara dan sungai yang melintasi batas negara RI-PNG memerlukan pengaturan bersama untuk pengelolaan dan pemamfaatannya, serta penyebaran eceng gondok pada permukaan Sungai Maro dan Sungai Wanggo yang berhulu di PNG mengakibatkan terjadinya penyumbatan aliran dan sedimentasi sungai.**