Pengelolaan sumber daya air yang baik akan berdampak pada perekonomian dan juga pada sistem lainnya, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, agar pengelolaan sumber daya air tersebut dapat menghasilkan manfaat bagi masyarakat secara optimal, diperlukan suatu acuan pengelolaan terpadu antar pemilik kepentingan (stakeholders).
Hal ini dalam UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air dikenal sebagai pola pengelolaan sumber daya air.
Demikian hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Sumber Daya Air (Dirjen SDA) – Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang juga merupakan Sekretaris Dewan SDA Nasional, DR. Ir. Moch. Amron, M.Sc saat pengukuhan Anggota Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TKPSDA WS) Kapuas – Provinsi Kalimantan Barat, di Pontianak (19/9).
Menurut Amron, penyusunan pola pengelolaan SDA ini, harus dilakukan secara terbuka dengan melibatkan berbagai pihak, melalui pembahasan mendalam dan demokratis dalam sidang TKPSDA.
“Hasil pembahasan tersebut kemudian dijadikan rekomendasi definitif untuk ditetapkan oleh pihak yang berwenang agar pola pengelolaan SDA mampu mengikat berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya dalam pendayagunaan dan konservasi sumber daya air secara terpadu,” katanya.
Banyak Tugas
Amron menyampaikan bahwa, tugas TKPSDA bukan hanya membahas dan merekomendasikan pola pengelolaan SDA saja, tetapi masih ada banyak hal yang ditugaskan kepada TKPSDA berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
“Umumnya bukan hal yang mudah karena didalamnya akan dijumpai berbagai kepentingan yang tidak selalu sejalan. Contohnya kepentingan air irigasi, industri dan rumah tangga dengan kepentingan pembangkit tenaga listrik, khususnya di musim kemarau,” sebutnya.
Kedua kepentingan ini, menurut Dirjen SDA, akan selalu tidak sejalan ketika air di sungai menjadi terbatas di musim kering. PLTA akan berusaha menahan air untuk menjaga produksi listriknya, sedangkan kebutuhan air irigasi, industri dan rumah tangga di bagian hilir akan meningkat.
“Belum lagi masalah mengenai pemeliharaan kesehatan lingkungan sungai. Kunci dari berbagai kepentingan ini adalah alokasi air yang optimal yang diputuskan secara musyawarah mufakat dalam sidang-sidangTKPSDA,” ujar Amron.
Lebih lanjut dijelaskan Amron, bahwa hal tersebut hanya sebagai salah satu contoh saja, belum lagi masalah banjir, air penggelontoran untuk kepentingan lingkungan sungai, ditambah banyaknya mata air yang sangat diminati untuk dimiliki dan digunakan oleh perusahaan swasta dan lain lain.
“Semua ini harus dicarikan jalan keluarnya untuk kemanfaatan masyarakat banyak. Ini tantangan yang tidak mudah untuk dilakukan, namun kami percaya bahwa dengan jiwa dan semangat membangun Kalimantan Barat dan sekitarnya serta ruh gotong royong yang kita warisi dari nenek moyang kita, kiranya semua ini Insya Allah dapat dicarikan jalan keluarnya,” tegas Amron.
Permasalahan
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalimantan Barat selaku Ketua TKPSDA WS Kapuas, Robert Nusanto, S.Sos, MM menyatakan, bahwa WS Kapuas merupakan WS Strategis Nasional yang mempunyai luas sekitar 103.000 km2.
Menurut Robert, isu permasalahan Pengelolaan SDA di WS Kapuas secara Umum antara lain, masalah air baku di Kota Pontianak untuk kebutuhan rumah tangga yang diwaktu musim kemarau sangat dipengaruhi oleh intrusi air laut, dan masalah Banjir terjadi di Derah Aliran Sungai (DAS) Kapuas yang terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak.
Selain itu juga masalah sedimentasi di muara–muara sungai yang menyebabkan pendangkalan dan menggagu angkutan sungai, dan kekritisan lahan pada WS Kapuas cenderung agak kritis (42,39 % dari luasan total), namun beresiko kritis (31,52 %).
“Sedangkan areal yang sudah dalam tahap kritis mencapai 15,54 %, ini bisa disimpulkan bahwa tingkat kritis lahan pada Wilayah Sungai Kapuas sudah memperihatinkan,” kata Robert.
Permasalahan lainnya, Robert menyatakan, adalah konversi rawa di daerah pesisir yang meliputi alih fungsi hutan bakau untuk tambak dan lahan sawit, daerah gambut diminati lahan sawit walau produksinya tidak sebesar lahan non gambut, dan panjang pantai di WS Kapuas sepanjang 468,95 km, sedangkan estimasi panjang pantai kritis sepanjang 20,72 km.
“Kerusakan pantai yang berlangsung pada saat ini adalah terjadinya abrasi pada daerah pesisir sehingga diperlukan penanganan yang optimal. Juga masalah kurangnya perhatian terhadap pengelolaan data dan informasi di bidang SDA, dan kurangnya pelibatan peran masyarakat dalam kegiatan SDA,” ujarnya.
Sebanyak 30 anggota TKPSDA WS Kapuas yang dikukuhkan berdasarkan Keptusan Menteri PU No. 77/KPTS/M/2011 tertanggal 28 Maret 2011 tersebut, masing-masing 15 anggota berasal dari unsur pemerintah dan 15 anggota lainnya berasal dari unsur non pemerintah.
Usai dilaksanakan pengukuhan tersebut, dilanjutkan dengan Sidang Perdana TKPSDA WS Kapuas yang membahas mengenai Tata tertib dan Tata cara Pengambilan Keputusan, pembentukan Komisi TKPSDA serta rencana kerja komisi.
Selain itu juga dilaksanakan pembekalan terhadap anggota TKPSDA WS Kapuas mengenai “Konsepsi Pengelolaan SDA Terpadu” oleh Direktur PSDA, Ditjen SDA – Kementerian PU, “Kebijakan Nasional Pengelolaan SDA dan Pelaksanaan Koordinasi PSDA” oleh Kabag Tata Usaha Sekretariat Dewan SDA Nasional mewakili ekretaris Harian Dewan SDA Nasional, dan “Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi” oleh perwakilan Direktorat PSDA, Ditjen SDA – Kementerian PU.** wwn/faz/ad/ed