Setelah mengadakan rapat pembahasan penyusunan draft Kebijakan Sistem Informasi Hidrologi, Hidrometeorologi dan Hidrogeologi (SIH3) pada akhir Januari lalu, Tim Penyusun kembali melanjutkan pembahasan khusus pada bidang Hidrogeologinya, di Jakarta (2/2).
Dengan dikoordinir Ketua Tim Penyusun, Leonarda BA Ibnusaid, M. Eng dan Sekretarisnya Ir. Agus Suprapto, M.Eng, Ph.D, rapat yang difasilitasi Sekretariat Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA Nasional) tersebut, tetap menyisir lima aspek yang terkait dengan latar belakang permasalahan, permasalahannya dan kebijakan.
Dalam rapat yang dihadiri Sekretaris Harian Dewan SDA Nasional, Ir. Imam Anshori, MT dan anggota tim penyusun lainnya, seperti dari Ditjen SDA – Dep. Pekerjaan Umum (PU), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) – Dep. Perhubungan dan Badan Geologi, Pusat Geologi Lingkungan – Dep. Energi dan Sumber Daya Minieral (ESDM), sempat mengemuka penggunaan kata geohidrologi atau hidrogeologi yang akan dipakai selanjutnya.
Pasalnya, dalam data-data air tanah yang ada di Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) – Dep. PU mempergunakan istilah geohidrologi, berlainanan dengan penggunaan istilah pada Badan Geologi – Dep. ESDM.
Kepala Pusat Lingkungan Geologi – Badan Geologi, Departemen ESDM, Ir. Hubertus Danaryanto, M.Sc yang menghadiri rapat tersebut , mengatakan bahwa perbedaaan hal itu hanyalah dalam penggunaan istilah saja.
“Geohidrologi lebih ke air yang ada dalam formasi lapisan batuan, sedangkan hi drogeologi merupakan rumahnya air dalam lapisan batuan. Sebetulnya datanya hampir sama dan subtansinya juga sama,” katanya.
Namun demikian, pada akhirnya dalam rapat itu telah menyepakati hanya mempergunakan isitilah hidrogeologi di sesuaikan dengan substansi yang tertuang di UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Lima Aspek
Kelima aspek yang disisir dalam rapat pembahasan itu adalah aspek kelembagaan, pengelolaan, teknologi, pembiayaan dan aspek pemberdayaan masyarakat. Pada aspek kelembagaan, misalnya saja membahas berbagai departemen dan non departemen, pemerintah daerah, perguruan tinggi dan swasta mengolah data dan informasi hidrogrologi sesuai dengan tupoksi kelembagaan masing-masing.
Sebagai akibatnya muncul permasalahan, antara lain bahwa penerapan tupoksi kelembagaan dalam menyelenggarakan pengelolaan data dan informasi hidrogeologi belum optimal dan koordinasi horizontal antar lembaga pengelola data dan informasi hidrogeologi belum optimal.
Untuk itu dalam menempuh langkah kebijakan yang akan disusun nantinya, diusulkan agar menetapkan tugas dan fungsi kementerian dalam pengelolaan air tanah, mengoptimalkan tupoksi unit pengolah data dan informasi hidrogeologi dan implementasinya sesuai yang ditetapkan dalam PP No. 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, serta menegaskan adanya tugas dan fungsi pengelola data dan informasi dalam uraian tupoksi lembaga termasuk mekanisme koordinasi antar lembaga.
Aspek pengelolaan yang disoroti antara lain bahwa pengelolaan data dan informasi yang mencakup pengambilan dan pengumpulan data, penyimpanan dan pengolahan data, pembaharuan data, penerbiatan serta penyebarluasan data dan informasi di tingkat Pusat, provinsi, kabupaten/kota belum terpadu dan terkoordinasi.
Akibatnya akan ada permasalahan, yaitu alur data dan informasi dari daerah ke Pusat dalam pengelolaan sistem informasi hidrogeologi belum terkoordnasi dengan jelas sesuai prinsip efisiensi dan efektivitas.
Oleh karena itu, Tim Penyusun mengusulkan mengambil langkah kebijakan untuk melaksanakan koordinasi dan mekanisme akses data antara Pusat dan daerah dalam pengelolaan data dan informasi hidrogeologi.
Mengenai aspek teknologi, latar belakang permasalahan yang ada antara lain, bahwa beberapa instansi telah menyelenggarakan sistem informasi hidrogeologi berbasis komputer. Akan tetapi, teknologi sistem informasi hidrogeologi yang dikelola oleh instansi terkait belum kompatibel satu sama lainnya.
Tim penyusun mengusulkan dalam mengambil kebijakan nantinya adalah menetapkan arsitektur sistem informasi hidrogeologi yang kompatibel dengan sistem informasi yang lain, menetapkan jenis informasi yang terbuka untuk masyarakat luas, dan menyusun standarisasi database, metadata yang dapat memudahkan tugas pengelolaan sistem informasi hidrogeologi.
Pada aspek pembiayaan antara lain dibahas mengenai biaya pengelolaan data dan informasi hidrogeologi bersumber dari dana APBN dan APBD. Meski begitu, timbul permasalahan karena program pembiayaan untuk pengelolaan hidrogeologi belum masuk ke dalam program yang bersifat rutin dan nilai biaya satuan kegiatan belum diatur standar minimumnya.
Dalam mengambil kebijakannya nanti, Tim Penyusun mengusulkan untuk menetapkan pembiayaan yang cukup dan masuk dalam program yang harus dilaksanakan secara rutin.
Kemudian terakhir, aspek pemberdayaan masyarakat antara lain dilatarbelakangi bahwa masyarakat belum memahami pentingnya keberadaan dan fungsi peralatan hidrogeologi. Sebagai akibatnya banyak peralatan dilapangan yang rusak karena masyarakat tidak merasa memiliki.
Kebijakannnya, diusulkan untuk melaksanakan sosialisasi pentingnya data hidrogeologi dan keberadaan alat kepada masyarakat.**