Lebih dari 30 orang anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA Nasional), baik dari perwakilan unsur pemerintah maupun dari unsur non pemerintah, melaksanakan rapat persiapan Sidang Pleno Dewan SDA Nasional, di Kota Bogor – Jawa Barat (3-5/6)
Rapat yang difasilitasi Sekretariat Dewan SDA Nasional ini juga dihadiri para narasumber dan undangan lain terkait, membahas beberapa agenda, antara lain perumusan Rancangan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (PSDA WS) Lintas Negara, pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Danau dan penyiapan bahan tertulis atas adanya isu rencana perubahan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Sumber Daya Air.
Dalam pengantarnya, Sekretaris Harian Dewan SDA Nasional, Ir. Hari Suprayogi, M.Eng mengemukakan, bahwa Pola PSDA WS Lintas Negara sebagaimana diamanatkan dalam UU No. & Tahun 2004 dan PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air perlu melibatkan instanasi lain terkait.
“Untuk penyusunan Pola PSDA WS Lintas Negara sesuai dengan amanat peraturan tersebut perlu mengikutsertakan pemerintah daerah yang bersangkutan, menteri yang membidangi luar negeri, dan menteri yang membidangi pertahanan dan keamanan,” jelasnya.
Hari Suprayogi menyampaikan, bahwa ada lima WS Lintas Negara yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah Pusat yang berbatasan dengan negara-negara tetangga.
“Kelima WS tersebut adalah WS Sesayap di Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Malaysia, WS Benanain dan WS Noelmina di NTT yang berbatasan dengan Timor Leste, serta WS Membramo – Tami – Apauvar (MTA) dan Einlanden-Digul-Bikuma (EDB) di Papua berbatasan dengan negara Papua Nugini (PNG),” katanya.
Pada kesempatan rapat pembahasan kali ini, Hari Suprayogi mengatakan, telah hadir wakil dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan dan Keamanan disamping juga perwa kilan dari pemerintah daerah yang bersangkutan.
“Kami mengucapkan terima kasih sudah dapat menghadiri pertemuan ini. Kami berharap wakil dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertahanan dan Keamanan serta pemerintah daerah dapat memberikan masukan. Oleh karena itu, kami meminta dari Ditjen SDA – Kementerian Pekerjaan Umum (PU) bisa memberikan posisi pola dan rencana PSDA WS Lintas Negara yang bersangkutan,” ujarnya.
Kerangka Dasar
Direktur Bina Penatagunaan SDA, Ditjen SDA – Kementerian PU, DR. Ir. Arie Setiadi Moerwanto, M.Sc menyampaikan, bahwa wilayah Indonesia terbagi menjadi 131 WS yang terdiri dari WS Lintas Nega ra, WS Lintas Provinsi, WS Strategis Nasional, WS lintas kabupaten/kota dan WS dalam satu kabupaten/kota.
“Ada sekitar 63 WS yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang terdiri dari WS Lintas Negara, WS Lintas Provinsi dan WS strategis Nasional. Untuk WS lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan WS dalam satu Kabupaten/kota menjadi tanggung jawab pemeritah kabupaten/kota yang bersangkutan,” tegasnya.
Mengenai pola PSDA WS yang harus disusun di setiap WS, menurut Arie Setiadi, adalah kerangka dasar yang berisi rencana strategi apa yang bisa dilakukan dalam pengelolaan SDA untuk masing-masing WS dengan rentang waktu 20 tahun.
“Berdasarkan pola PSDA WS tersebut nantinya, kami akan menyusun rencana strategi (Renstra). Penyusunan pola PSDA WS tersebut memang hendaknya telah dikonsultasikan kepada masyarakat bersangkutan, terutama juga kepada wadah koordinasi pengelolaan SDA di masing-masing WS dan provinsi yang menjadi representasi dari semua pemilik kepentingan terkait SDA,” ungkapnya.
Terkait dengan penyusunan Pola PSDA WS ini, Arei Setiadi menyatakan, bahwa setiap provinsi seyogyanya ada Dewan SDA provinsi (DSDAP) dan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai (TKPSDA WS).
“Dengan telah dikonsultasikan pola PSDA WS di masing-masing WS yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan wadah koordinasi, kami berharap telah mengakomodasi setiap pemilik kepentingan. Khusus WS Lintas Negara ini, kami harapkan bisa dirumuskan Dewan SDA Nasional bersama Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang membidangi SDA,” ucapnya.
Lebih lanjut Arie Setiadi menyatakan, bahwa pola PSDA WS yang disusun selalu dibagi dalam lima pilar pengelolaan SDA, yaitu konservasi SDA, pendayagunaan SDA, pengendalian daya rusak air, peningkatan peran masyarakat dan Sistem Informasi SDA (SISDA).
“Untuk itu mohon masukan khusus di wilayah perbatasan yang kebutulan saat ini telah hadir wakil dari pemerintah daerah bersangkutan. Antara lain, mengenai pengurangan daerah banjir , pengurangan DAS Kritis, dan jumlah pos pengamatan kualitas air dengan parameter yang terukur jelas,” sebutnya.
Arie Setiadi juga menyampaikan bahwa sesuai dengan masukan Dirjen SDA – Kementerian PU, agar pola PSDA WS tersebut juga bisa mengukur peran dan partisipasi masyarakat, dimana salah satunya adalah dalam bentuk kerjasama swasta – pemerintah (public-private partnership).
“Karena setiap lima tahun Pola PSDA WS akan di evaluasi,seperti mengenai pengurangan daerah banjir. Hal tersebut harus dapat terukur dengan baik, karena pola ini akan dijadikan juga sebagai dasar untuk penyusunan Renstra,” katanya.
Selain mengevaluasi mengenai pengurangan daerah banjir, Direktur Bina Penatagunan SDA juga menyebutkan, akan mengevaluasi juga mengenai pengurangan Daerah Aliran Sungai (DAS) kritis, jumlah pos dan parameter untuk masalah SISDA-nya khususnya wilayah perbatasan negara di NTT dan Papua.
“Demikian juga dengan WS Sesayap di Kalimantan Timur. Hal ini penting sekali untuk melihat bagaimana perubahan kualitas air sungainya. Kami juga meminta teman-teman di Balai Wilayah Sungai (BWS) untuk memasang pos-pos di sana, kemudian parameternya seperti apa yang terukur dan terinterpolasi dengan baik,” ujarnya.
Menurut Arie Setiadi, penggunaan parameter yang terukur tersebut diharapkan memang belum sampai mendorong pada pencapaian yang maksimal, akan tetapi diupayakan untuk pencapaian yang optimal.
“Artinya kita mengukur dari capaian-capaian yang diinginkan. Sebagai contoh untuk pemenuhan kebutuhan air baku, Ditjen SDA bekerjasama dengan Ditjen Cipta Karya ingin mendorong pemenuhan kebutuhan air baku yang dapat menjangkau seluruh masyarakat. Jadi yang ditekankan adalah cakupan layanannya dahulu yang memang baru sekitar 120 liter/orang/hari, dari kebutuhan standar sekitar 180 liter/orang/hari,” ungkapnya.
Saran dan Masukan
Setelah pemaparan kelima rancangan Pola PSDA WS Lintas Negara oleh masing-masing BWS Papua, BWS Nusa Tenggara II dan BWS Kalimantan III, beberapa masukan dan tanggapan dilontarkan oleh beberapa peserta rapat.
Antara lain, perwakilan dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Nova Maulani menyampaikan bahwa penentuan batas negara sudah menggunakan titik koordinat dan jika masih beranggapan batas negara dengan menggunakan talud atau palung terdalam tidak selamanya seperti itu.
“Sehingga tidak ada masalah dengan sungai atau patok yang berubah, karena tetap berpedoman pada titik-titik koordinat. Hanya saja titik koordinatnya kadang-kadang dilihat dari pinggiran sungai, misalnya tepian sungai Indonesia dan tepian sungai negara tetangga. Namun sungainya sendiri kadang-kadang juga masih belum ada kejelasan sungainya itu milik siapa,” katanya.
Melihat kondisi tersebut, Nova menyatakan, bahwa kerjasama dibidang sungai sangat penting dimana Indonesia masih menunggu hasil dari perundingan dengan Timor Leste melalui Joint River Water Management (JRWM).
“Mungkin hasil dari pertemuan ini bisa disampaikan ke Kementerian Luar Negeri dan nantinya bisa dirundingkan dengan Timor Leste. Rencana ke depan, terutama Renstra 20 tahun, atau rencana-rencana pembangunan yang ada di pinggiran sungai, ada baiknya selalu kita berikan notifikasi kepada negara tertangga,” jelasnya.
Pasalnya, ada beberapa kasus yang menyangkut sumber daya air melibatkan kepentingan dua negara. Misalnya, di Indonesia ingin dibangun dam untuk menanggulangi banjir di wilayah perbatasan perlu diinformasikan kepada negara tetangga, demikian pula sebaliknya bila ada aktifitas di perbatasan negara tetangga yang bisa mempengaruhi kondisi sumber daya air di Indonesia, bisa disampaikan ke negara yang bersangkutan.
“Untuk kondisi ini kalau memungkinkan bisa saling bekerjasama dengan negara tetangga. Akan tetapi kalau masih sulit, setidaknya kita memberikan notifikasi, karena apabila terjadi kasus pasti Kemenlu yang mendapat nota protesnya,” ujarnya.
Perwakilan Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Kemenhankam), Letkol Onny Joko S menginformasikan, bahwa masalah perbatasan di Kemenhankam mempunyai organisasi untuk wilayah perbatasan, yang terbagi dalam tiga wilayah yaitu dengan Malaysia, PNG dan Timor Leste.
“Joint Management Committee (JMC) dengan Timor Leste serta Joint Technical Sub Committee (JTSC) dan Joint Border Committee (JBC) dengan PNG dan dengan Malaysia. Untuk Ketua JBC Indonesia adalah Mendagri dan Ketua JTSC adalah Panglima TNI,” katanya.
Selain itu, Onny Joko menyampaikan, bahwa substnasi perundingan terkait masalah sumber daya air dengan negara tetangga yang disampaikan Indonesia selama ini memang belum ada sinergi diantara instansi terkait SDA.
“Di Kemenhankam juga belum pernah mengadakan rapat-rapat yang melibatkan antar Instansi/Kementerian terkait. Karena dasar kami adalah batas wilayah untuk ketiga wilayah tersebut yang punya cakupan tersendiri. Jadi perlu rumusan terkait sumber daya air yang sinergi diantara instansi di Indonesia sebagai bahan perundingan dan sebaiknya rapat-rapat seperti ini bisa terus dilaksanakan secara berkesinambungan,” harap Onny.
Masukan dan tanggapan dari beberapa anggota Dewan SDA Nasional juga disampaikan, antara lain menyatakan bahwa isu di wilayah perbatasan terkait SDA harus tercantum dalam Pola PSDA WS Lintas Negara.
Kemudian mengenai WS Sesayap yang hulu sungainya berada di negara Malaysia, perlu ditindaklanjuti dengan perundingan “Government to Government (G to G)” antara Indonesia dengan Malaysia.
Diinformasikan bahwa, ada satu kecamatan di Indonesia yang merupakan bagian hilir WS Sesayap yang sering mengalami banjir dan terendam selama 2-3 bulan sebagai akibat aktivitas di bagian hulu yang berada di Malaysia.
Disampaikan pula, bahwa pernah juga terjadi tanggul jebol di wilayah Malaysia yang menyebabkan genangan di wilayah Indonesia yang sangat besar dan luas serta kejadian rutin seperti peningkatan run off aliran air permukaan yang menggerus muka tanah yang menyebabkan pencemaran air karena kandungan herbisida dan peptisida dari perkebunan-perkebunan di Malaysia.
Selain itu, anggota Dewan SDA Nasional juga menyoroti pengadaan air minum di wilayah perbatasan, karena di wilayah Indonesia masih banyak terdapat kawasan hutan lindung yang menyebabkan sulitnya membangun infrastruktur SDA.
“Sangat sulit untuk bisa dibangun infrastruktur. Mungkin perlu ada kebijakan khusus atau perkecualian kawasan perbatasan ini di dalam upaya membangun infrastruktur disana. Kita juga memerlukan tranportasi baik darat maupun air di perbatasan dan kenyataannya infrastruktur jalan sangat timpang. Jadi kecenderungannya penduduk Indonesia menjual hasil-hasil produksinya ke Malaysia, tidak menjualnya ke Indonesia,” kata Indro Tjahyono, anggota Dewan SDA Nasional dari SKEPHI.
Oleh karena itu, perlu koordinasi “G To G” antara Indonesia-Malaysia agar mengakomodir beberapa persoalan lintas batas, yaitu mengatur lalu-lintas orang dan barang, menjembatani kesenjangan hubungan antara Malaysia dan Indonesia, khususnya dengan adanya ikatan kultural dan hubungan politis, serta diharapkan bisa diselesaikan di tingkat pusat dengan melibatkan elemen daerah yang mengetahui daerah bersangkutan.
Sementera itu, di wilayah perbatasan Papua dengan PNG, para anggota Dewan SDA nasional menyoroti adanya pencemaran di Sungai Fly akibat adanya aktifitas penambangan emas di wilayah PNG.
Kondisi ini diperkirakan bisa menjadi semacam bom waktu untuk muncul menjadi persoalan besar seperti halnya dengan pencemaran oleh Freeport. Pasalnya, sedimentasi di Sungai Fly cukup besar, yaitu dua juta ton per tahun.
Terkait dengan pencemaran tersebut, diinformasikan pula bahwa Indonesia masih sulit mengkaji hal tersebut, karena peralatan untuk test pencemaran terbatas, sehingga tidak bisa melampirkan bukti-bukti terkait untuk memprotes apa yang dilakukan oleh pihak PNG.
Oleh karena itu, direkomendasikan untuk segera melakukan langkah-langkah dalam rangka kerjasama pengelolaan SDA antara RI-PNG.
Sedangkan narasumber, Ir. Imam Anshori, MT menyarankan, bahwa setidaknya produk Pola PSDA WS Lintas Negara ini bisa memberikan informasi yang berkait an dengan sektor atau kegiatan apa saja yang bisa membuka peluang kerjasama dengan negara tetangga.
Kemudian juga disampaikan bahwa rencana kegiatan terkendala oleh rencana atau program dari negara tatangga, bisa dikemukakan dalam pola PSDA tersebut, baik dalam bentuk kendala yang berupa resistensi ataupun ketergantungan, akibat policy dari negara tetangga.
“Produk Pola PSDA WS Lintas Negara ini bisa juga memberikan informasi dari potensi SDA yang kita miliki, dan memang sangat bernilai strategis tidak hanya di wilayah RI tetapi terutama negara lain yang bisa sangat bergantung dengan potensi yang kita miliki. Hal ini bisa memberikan sisi bargaining position dalam perundingan untuk aspek yang lain,” ujarnya.
Dari pertemuan dan diskusi tersebut disepakati bahwa rancangan Pola PSDA WS Lintas Negara yang ada akan segera diperbaiki oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang dalam hal ini BWS bersangkutan berdasarkan saran dan masukan yang disampaikan oleh seluruh peserta rapat.
Hasil perbaikan rancangan Pola PSDA WS Lintas Negara ini nantinya juga akan didiskusikan kembali dengan para anggota Dewan SDA Nasional sebelum ditetapkan menjadi Pola PSDA WS Lintas Negara yang bersangkutan.
Pandangan UU SDA
Sementara itu terkait wacana perubahan UU No. 7 Tahun 2014 tentang Sumber Daya Air, para anggota Dewan SDA Nasional bersepakat untuk memberikan pandangan dan pendapatnya kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU) selaku Ketua Harian Dewan SDA Nasional.
Pandangan dan pendapat tersebut antara lain, bahwa UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air merupakan pelaksanaan dari paradigma good water governance yang implementasinya memerlukan waktu, sehingga diperlukan program dan tindakan yang konsisten untuk menerapkannya. Kemudian dalam penerapannya perlu diikuti dengan sistem fiskal untuk menjamin keberlanjutan pelaksanaannya
Juga disepakati bahwa wad ah koordinasi pengelolaan SDA, baik di tingkat nasional, provinsi maupun Wilayah Sungai (WS) sangat diharapkan menjadi pelopor dan pengawal pelaksanaan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, agar asas demokrasi, keadilan, dan transparansi bisa terwujud.
Disepakti pula bahwa masih terjadi ketimpangan dalam implementasi UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Hal tersebut bukan karena substansi UU-nya, akan tetapi implementasinya yang masih belum dilaksanakan sepenuhnya, termasuk lemahnya penegakan hukum.
Selain itu juga disepakti bahwa Dewan SDA Nasional belum memahami urgensi untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang terhadap usulan dan wacana perubahan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
RPP Danau
Terkait dengan RPP tentang Danau, dalam rapat tersebut para anggota Dewan SDA Nasional menyepakati beberapa masukan dan saran guna penyempurnaannya. Seperti, masih ditemukan in-konsistensi antara ketentuan hukum yang berkaitan dengan “danau paparan banjir” dalam RPP ini dengan ketentuan yang sudah diatur di dalam PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, misalnya mengenai kriteria batas sempadan danau paparan banjir.
Begitu pula disepakati, karena tidak diatur dalam RPP ini maka perlu diatur tentang kedudukan dan hubungan secara hirarkis antara Rencana Pengelolaan Danau dengan Rencana Pengelolaan SDA Wilayah Sungai yang telah ditetapkan, sehingga diharapkan pengaturan kedudukan dan hubungan hirarkis tersebut.
Di dalam RPP ini, tersirat pengertian bahwa pembentukan dan aktivitas Forum Danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 adalah merupakan inisiatif masyarakat. Ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 45 RPP ini, dinilai sebagai campur tangan pemerintah yang berlebihan atau tidak beralasan.
RPP ini perlu memuat ketentuan mengenai parameter yang dipergunakan untuk menentukan kondisi danau dan keberhasilan pelaksanaan program/kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 1 huruf a dan b.
Disepakati pula bahwa RPP ini masih perlu memperkaya substansi yang berhubungan dengan keterlibatan masyarakat termasuk pemberdayaannya dalam pengelolaan danau. Diantaranya adalah mengenai jenis-jenis kegiatan yang dapat diperankan oleh masyarakat di dalam pelaksanaan pengelolaan danau, bagaimana caranya agar peran masyarakat akan diwujudkan, dan deskripsi kewajiban pemerintah agar peran masyarakat dapat diwujudkan.
Kemudian, penggunaan istilah yang terdapat dalam RPP ini dinilai tidak konsiten dengan istilah yang dipakai dalam UU Kehutanan dan PP No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS. Istilah dimaksud khususnya memuat ketentuan yang berhubungan dengan pengelolaan daerah tangkapan air danau.
Disarankan agar RPP ini memuat ketentuan mengenai sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan larangan yang terdapat di dalam RPP Danau. **jon/wid/sri/ad