Warisan bangunan Sumber Daya Air (SDA) dari sudut pandang pariwisata adalah sangat penting. Begitu juga apabila dilihat dari sisi pendidikan dan praktisi juga bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran dan peneilitian.
Demikian dikatakan Plt. Direktur Jenderal SDA – Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang juga selaku Ketua Umum Panitia Nasional Hari Air Dunia (HAD) XVIII tahun 2010, DR. Ir. M. Amron, M.Sc saat menyampaikan sambutannya pada acara seminar bertajuk “Heritage of Water Infrastructure and 4th Indonesia Water Forum atau Forum Air Indonesia IV, di auditorium gedung baru lantai 8 Direktorat Jenderal SDA – Kementerian PU, Jakarta, Rabu (21/4).
“Dalam seminar hari ini ada dua topik yang akan diulas, yaitu warisan bangunan SDA bersejarah dan sosialisasi rancangan Kebijakan Nasional (Jaknas) SDA yang merupakan hasil rekomendasi Dewan SDA Nasional untuk nantinya disahkan Presiden RI,” ujar Amron.
Lebih lanjut dijelaskan Plt. Dirjen SDA, bahwa rancangan Jaknas SDA ini sudah disepakati oleh anggota Dewan SDA Nasional yang terdiri dari para menteri dan gubernur yang berasal dari unsur pemerintah dan anggota Dewan SDA Nasional dari unsur non-Pemerintah pada sidang I tahun 2010, 14 April lalu.
“Naskah rancangan Jaknas SDA ini telah disusun secara efektif sejak tahun 2005, kemudian setelah dibentuknya Dewan SDA Nasional, pembahasannya secara intensif dilaksanakan oleh Panitia Khusus (Pansus),” ungkap Amron.
Dalam seminar yang dihadiri sekitar 97 peserta ini, Amron mengharapkan, agar selain subtansi Jaknas SDA dapat diketahui para peserta, juga diskusi nanti diharapkan menghasilkan masukan yang berarti, khususnya untuk meningkatkan kinerja pengelolaan SDA di Indonesia.
Warisan Bersejarah
Pada topik yang pertama, ada enam nara sumber yang menyajikan materinya, antara lain Tjoek Waluyo Subijanto (Perum Jasa Tirta I), Shimizu (CTI), Erwin Tri Nugroho (BBWS Serayu-Opak), A. Hafied A. Ghani (ICID), Darmanto (UGM) dan Hitoshi Baba (JICA).
Secara umum para penyaji mengulas adanya warisan bangunan SDA yang amat bersejarah. Misalnya saja, di wilayah Kali Brantas yang merupakan daerah yang subur saat itu, banyak muncul kerajaan-kerajaan yang dibuktikan dengan adanya prasasti-prasati di sekitar Kali Brantas. Umpamnya saja Kerajaan Daha, Kediri , Airlangga dan Kerajaan Majapahit.
Sementara masa penjajahan Belanda banyak teknologi yang masuk, antara lain dibangun jaringan irigasi seperti Delta Brantas pada tahun 1852, Kedung Kandang (1854), Molek (1905) dan sebagainya, sehingga banyak bangunan-bangunan air bersejarah di sekitar Kali Brantas.
Begitu pula di Kota Semarang, saat pemerintahan Belanda, pada tahun 1870 telah dilaksanakan pembangunan bangunan pencegah banjir. Misalnya saja, banjir kanal barat sepanjang 3,8 km, kontruksi Bendung Simongan dan normalisasi Sungai Garang yang mempergunakan material asli batubata yang tipis tetapi sangat kuat.
Pada jaman Hindu dan Budha, dimana dinasti Syailendra yang beraliran Budha dan berasal dari Sumatera berekspansi ke Pulau Jawa dan hidup berdampingan dengan dinasti Sanjaya yang beragama Hindu.
Saat itu dibangun Candi Plaosan yang disekelilingnya terdapat kanal-kanal dan prasasti-prasati peninggalan saat itu. Diantaranya adalah prasati Sumundul yang bercerita tentang pengalihan aliran sungai untuk keperluan irigasi. Dimana masyarakat dibebaskan untuk memanfaatkan bendung untuk keperluan irigasi, akan tetapi masyarakat dikenakan iuran untuk perawatan bangunan suci.
Syailendra juga mewariskan Candi Borobudur yang bisa dikatakan merupakan karya bersama antara seni dan enginer saat itu. Dan selanjutnya di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono IX mewariskan Mataram Canal.
Pembangunan Kanal Mataram ini cukup unik, dimana saluran sekunder diminimumkan sehingga pembebasan lahan dapat dikurangi dengan melaksanakan sistem suplesi. Konsepnya adalah memperbesar debit di sekitar perpotongan, sehingga air bisa didistribusikan sampai ke hilir.
Kanal Mataram waktu itu dibangun bukanlah merupakan suatu proyek melainkan community development yang dimaksudkan untuk mencegaha masyarakat Yogyakarta dikrim pihak Jepang ke luar negeri, seperti ke Birma.
Melihat hal tersebut, meski waktu itu dalam masa penjajahan Jepang, namun mitos lokal dapat memotivasi untuk mewujudkan cita-cita bersama,. Ketika itu Kulonprogo, Bantul dan Sleman di pecah akan tetapi secara budaya masih dalam satu kesatuan.
Produk Dewan
Sementara dalam seminar Forum Air Indonesia (FAI) IV yang membahas mengenai Jaknas SDA, Sekretaris Harian Dewan SDA Nasional, Ir. Imam Anshori, MT dalam pengantarnya menjelaskan, bahwa Jaknas SDA merupakan salah satu produk Dewan SDA Nasional yang membentuk Pansus beranggotakan 39 anggota dari Anggota Dewan SDA Nasional yang seluruhnya berjumlah 44 anggota.
“Para Anggota Dewan SDA Nasional tersebut berasal dari unsur Pemerintah dan non-Pemerintah yang masing-masing dalam jumlah seimbang sebanyak 22 anggota,” ujar Imam Anshori.
Menurut Imam Anshori, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, ruang lingkup pengelolaan SDA antara lain terdiri dari konservasi SDA, pendayagunaan SDA dan pengendalian daya rusak air.
“Prinsip pengelolaan potensi bahaya terkait air adalah adanya resiko kerugian yang dapat dipengaruhi setidaknya dengan beberapa hal seperti budidaya pertanian, perambahan hutan, boros penggunaan air, ketersediaan infrastruktur dan sebagainya yang merupakan latar belakang perlunya disusun Jaknas SDA,” ujarnya.
Sekretaris Harian Dewan SDA Nasional menambahkan, bahwa kedudukan Jaknas SDA ini akan menjadi acuan bagi Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional.
“Jaknas SDA ini juga dapat dijadikan acuan bagi penyusunan kebijakan pengelolaan SDA di tingkat provinsi,” jelas Imam.
Sedangkan para penyaji yang terdiri dari tiga orang yang juga merupakan anggota Dewan SDA Nasional, yaitu Ir. H. Achmadi Partowijoto, CAE (Kemitraan Air Indonesia/KAI), Ir. Priyo Probadi Soemarno (Indonesia Minning Association/IMA) dan DR. Ir. Bambang Widyantoro (Asosisasi Pengusaha Hutan Indonesia/APHI) pada intinya menjelaskan, bahwa format Jaknas SDA terdiri dari tujuh bab.
Ketujuh bab tersebut adalah bab pendahuluan, permasalahan, tantangan ke depan, asas dan arah, visi dan misi, kebijakan nasional dan strategi, serta bab penutup.
Dalam bab pendahuluan berisi mengenai kondisi aktual dimana kebutuhan air meningkat secara beragam, kualitas air semakin memburuk, muka air tanah semakin menurun, bencana alam banjir dan kekeringan meningkat.
Juga menjelaskan mengnenai kendala pengelolaan SDA, misalnya saja rendahnya kesadaran untk berperilaku hemat air dan kegunaan dari Jaknas SDA antara lain sebagai acuan untuk merumuskan rencana strategis dan penyusunan RPJM Nasional.
Di bab permasalahan antara lain menjelaskan mengenai peningkatan alih fungdi lahan pertanian produktif, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), konflik dalam penggunaan air dan sebagainya.
Sedangkan bab kebijakan nasional dan strategi menjelaskan mulai dari kebijakan umum sampai pada kebijakan pengembangan jaringan sistem informasi SDA.**faz/ad/tom