Indonesia merupakan negara tropis dan juga negara kepulauan dimana secara geografis berada pada pertemuan tiga pergerakan atau tumbukan lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik.
Indonesia juga terletak diantara dua benua, yaitu benua Asia dan Australia serta dua lautan yaitu lautan Pasifik dan lautan Hindia. Atas dasar tiga hal tersebut diatas, Indonesia adalah sebuah negeri yang rawan bencana alam terkait dengan iklim (climate related disaster) dan geologi.
Demikian hal tersebut disampaikan Menteri Pekerjaan Umum (PU), Ir. Djoko Kirmanto, Dipl. HE saat memberikan sambutan pada acara “Seminar Nasional Penanganan Aliran Sedimen” di Universitas Gadjah Mada (UGM) – Yogyakarta (12-13/9).
“Bencana alam tersebut antara lain banjir bandag, angin puting beliung, gelombang pasang, gempa bumi, tsunami, meletusnya gunung berapi dan kekeringan, sehingga Indonesia dapat dikatakan “supermarket” bencana alam,” sebut Menteri PU.
Djoko Kirmanto menyatakan, bahwa bencana yang paling mematikan di Indonesia pada awal abad ke-21 bermula dari gempa bumi besar terjadi di dalam alur sebelah Barat Pulau Sumatera, dekat Pulau Simeuleu – Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 26 Desember 2004.
“Kemudian diikuti dengan tsunami yang menewaskan sekitar 165,7 ribu jiwa warga NAD dan nilai kerusakan yang ditimbulkannya lebih dari Rp. 48 triliun. Indonesia selalu tidak lepas dari bencana alam yang terjadi hampir setiap tahun yang menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian,” katanya.
Misalnya saja, di tahun 2010 antara lain terjadi banjir bandang Waisor di Kabupaten Teluk Wondoma – Papua Barat, gempa bumi berkekuatan 7,2 SR yang diikuti dengan tsunami di Kepulauan Mentawai – Sumatera Barat, dan erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta.
“Kondisi ini semua, selain menyebabkan ancaman aliran sedimen, juga menyebabkan banyak korban jiwa, harta benda, ekonomi, sosial dan dampak trauma kepada masyarakat luas,” tegas Menteri PU.
Kerjasama Penanganan
Menurut Djoko Kirmanto, dalam UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, telah jelas disebutkan bagaimana definisi prabencana, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta bagaimana mengaplikasikannya.
Dalam Pasal 34 UU No. 24 tahun 2007 disebutkan, bahwa prabencana adalah situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi delapan point.
Kedelapan point tersebut adalah perencanaan penanggulangan bencana, pengurangan resiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis resiko bencana, pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, serta persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Sebagai contoh, Menteri PU menyatakan, bahwa teknologi sabo telah diterapkan dan dikembangkan di daerah gunung berapi untuk mengurangi resko bencana melalaui pembangunan penampungan lahar seperti di kawasan Gunung Merapi, Gunung Kelud, Gunung Semeru dan Gunung Galunggung.
“Contoh lain adalah upaya mengatasi permasalahan erosi dan sedimentasi pada wilayah sungai seperti melaksanakan konservasi dan terasering pada lairan arus air off stream. Kita bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup,” ujar Menteri PU, seraya menambahkan hal tersebut sesuai dengan amanah UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, khususnya mengenai pengendalian bahaya daya rusak air.
Lebih lanjut Menteri PU menyampaikan, bahwa Indonesia juga menjadi salah satu Negara yang menyepakati “Konvensi PBB Tentang Perubahan Iklim” pada KTT Bumi di Rio de Janaeiro – Brasil tahun 1992 dan Indonesia telah menindaklanjuti dengan UU No. 6 tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim, lahirnya Bali Roadmap atau Bali Action Plan 2007, Copenhagen Accord 2009 dan Cancun Commitments 2010.
“Mengingat hal tersebut, maka Kementerian PU telah menyiapkan Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Bidang ke-PU-an, berdasarkan UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,” kata Djoko.
Proses peningkatan sumber daya manusia, menurut Djoko Kirmanto, hanyalah salah satu faktor dalam usaha mitigasi bencana dan masih banyak faktor lain yang perlu secara paralel dikembangkan, seperti peraturan, pedoman teknis dan lain-lain.
“Dengan pengembangan faktor-faktor lain tersebut disertai dengan usaha pemberdayaan masyarakat, maka harapan saya program mitigasi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan terukur,” kata Menteri PU.
Selain itu, Djoko Kirmanto juga mengharapkan, bahwa dengan semakin baiknya proses penyiapan tenaga yang memahami tentang penanggulangan bencana alam dan peningkatan pendidikan yang disertai dengan penelitian sejak prabencana hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, maka penanganan bencana alam yang berwawasan lingkungan akan berjalan lancar dan kehidupan baru masyarakat yang terkena bencana alam akan cepat tumbuh atau berkembang kembali.
Penyelenggaraan seminar nasional yang merupakan kerjasama antara Ditjen SDA – Kementerian PU, Magister Pengelolaan Bencana Alam – UGM dan JICA – Jepang tersebut, menghadirkan pembicara yang berasal dari kalangan praktisi, akademisi, dan peneliti bidang penanganan aliran dan bencana sedimen di Indonesia dan Jepang.
Pada kesempatan tersebut juga diperingati Dies Natalis X Program Pendidikan Bencana, Magister Pengelolaan Bencana Alam – UGM, ditandai dengan pemotongan tumpeng lanang dan tumpeng wadon sebagai simbol kesuksesan dan terus berlangsungnya program studi tersebut dalam upaya peningkatan mutu sumber daya manusia dalam pengelolaan bencana alam.
Turut hadir di acara tersebut, antara lain Rektor UGM, Inspektur Jenderal – Kementerian PU, Direktur Jenderal Sumber Daya Air – Kementerian PU, Direktur Sungai dan Pantai – Ditjen SDA Kementerian PU, Sekretaris Harian Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA Nasional), Civitas Akademika Program Magister Pengelolaan Bencana Alam UGM, para alumni, praktisi, peneliti dan pemerhati masalah manajemen bencana alam di Indonesia. **faz/ad