Kita mengetahui bahwa air mutlak sebagai sumber kehidupan. Semua aktiftas kegiatan tidak ada satu pun yang tidak tergantung pada sumber daya air. Apa saja, termasuk pakaian yang kita kenakan dari proses produksinya, juga pasti butuh air.
Demikian hal tersebut dikemukakan Sekretaris Harian Dewan Sumber Daya Air Nasional (Dewan SDA Nasional), Ir. Imam Anshori, MT saat membuka acara yang bertajuk “Sosialisasi Peraturan Perundangan Sumber Daya Air dan Fasilitasi Pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air wilayah Sungai (TKPSDA WS) Sesayap, Kota Tarakan, Kalimantan Timur (12/4).
Menurut Imam Anshori, tidak hanya makanan yang dikonsumsi saja yang membutuhkan air, akan tetapi juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengan produk-produk industri yang dalam prosesnya semuanya butuh air.
“Saya melihat ketika sebelum landing, nampaknya begitu besar potensi sumber daya air di wilayah ini. Kalau kita lihat, sungai-sungai jarang yang seperti itu, karena terus terang kami baru pertama kali ke Tarakan ini. Allhamdullilah dan saya berterimakasih telah melihat kota yang indah ini,” ujarnya.
Imam Anshori menyatakan, bahwa setelah dirinya melihat kondisi aliran sungai dari atas, dimana banyak sungai-sungai yang mengalir, berarti definisi sungai menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 2011 tentang Sungai, memang agak susah di terapkan di kawasan ini.
“Jangan-jangan di kawasan ini, hal tersebut bukan di sebut sebagai sungai, mungkin juga kawasan rawa. Agak sulit kalau itu dianggap sebagai sungai karena nantinya untuk menetapkan sempadannya agak susah. Itu semua merupakan anugerah Allah SWT yang di limpahkan kepada Provinsi Kalimantan Timur,” ungkapnya.
Tentunya semua hal yang dikaruniakan itu, menurut Imam, patut dijaga dan dipelihara agar tidak hilang, baik karena sedimentasi maupun akibat pencemaran atau air keruh, sehingga menyebabkan air tidak bisa didayagunakan.
“Nampaknya begitu luas apa yang di sebut dengan WS Sesayap. Dilaporkan tadi ada sekitar 19 Daerah Aliran Sungai (DAS) di WS ini. Diantaranya adalah DAS Sesayap, DAS Sebuku, DAS Bunyu, DAS Linungkayan, DAS Nunukan, DAS Sebatik, DAS Sekatak, DAS Simanggaris, dan DAS Tarakan. Apa yang dimaksud dengan wilayah sungai ini, bisa ditemukan di Undang-Undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,” katanya.
Dalam undang-undang tersebut, Imam menyebutkan, bahwa yang di maksud dengan wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih DAS dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
“Jadi merupakan kesatuan wilayah manajemen sumber daya air yang dapat terdiri dari satu DAS saja dan dapat juga terdiri gabungan beberapa DAS termasuk juga pulau-pulau kecil. Satu pulau kecil bisa menjadi satu wilayah sungai, dimana hal tersebut dikarenakan untuk efektifitas dan efesiensi manajemennya saja,” tegas Imam.
Memenuhi Kebutuhan
Lebih lanjut Sekretaris Harian Dewan SDA Nasional menyatakan, bahwa memang idealnya sebuah DAS bisa menjadi satu kesatuan pengelolaan tersendiri, akan tetapi ada DAS-DAS tertentu yang nampaknya dari kondisi hidrologisnya sangat minim yang berbeda dari DAS tetangganya yang mempunyai potensi air demikian besar.
Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat di DAS yang minim tersebut, maka dipersatukanlah pengelolaannya dengan DAS yang potensi airnya cukup besar. Hal tersebut sesuai Pasal 5 dari UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang menyatakan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk menggunakan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari.
Kalau konteksnya seperti itu, menurut Imam Anshori, berarti ada jaminan dari negara untuk memenuhi kebutuhan tersebut andai kata dari kondisi hidrologis seseorang berada pada tempat yang minim air.
“Karena itu pemerintah berkewajiban memenuhinya sesuai amanat Undang-Undang Sumber Daya Air untuk bisa menyediakan kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupan yang sehat, bersih dan produktif,” tuturnya.
Imam menjelaskan, bahwa kebutuhan pokok minimal sehari-hari ini nantinya akan dituangkan di dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang diharapkan ada untuk setiap kabupaten atau kota sesuai dengan target Millenium Development Goal’s (MDG’s).
“Dari sisi akses air minum terkait dengan posisi Indonesia dalam mencapai target MDG’s, nampaknya provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) secara total untuk kawasan perkotaannya sudah tercapai. Akan tetapi tidak berarti setiap kabupaten di wilayah Kaltim sudah seperti itu,” ulasnya.
Seperti halnya di WS Sesayap berdasarkan draft pola pengelolaan SDA meliputi lima kabupaten/kota, yaitu Kab. Nunukan, Kab. Bulungan, Kab. Tana Tidung, Kab. Malinau dan Kota Tarakan, akan mempunyai visi dan kepentingan masing-masing yang berbeda terkait SDA.
Umpamanya saja, kabupaten/kota yang berada di bagian hulu WS Sesayap, akan sangat berkeinginan untuk membuka wilayahnya agar bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya.
“Hal ini tentunya akan mempunyai efek positif dan negatif bagi kawasan yang ada di wilayahnya. Semua kepentingan-kepentingan, baik yang sejalan maupun yang bertentangan perlu di bicarakan bersama,” ujar Imam.
Terkait dengan hal tersebut, Imam Anshori juga mengingatkan, bahwa dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, telah memberikan amanat membentuk sarana untuk melakukan konsultasi dan komunikasi dalam rangka mempertemukan berbagai kepentingan, termasuk juga kepentingan masyarakat adat.
“Ya … ini membutuhkan sarana untuk berdialog dalam rangka membangun kesepakatan, membangun visi yang satu, satu visi untuk satu wilayah sungai dan visi itu nanti harus tertuang di dalam produk yang bernama pola pengelolaan SDA yang lebih struktural,” ujarnya.
Imam Anshori menjelaskan, bahwa pola pengelolaan SDA sesuai amanat UU SDA harus disusun di setiap WS dan untuk menyusunnya harus dilakukan melalui kajian-kajian yang bersifat sistemik.
Kajian ini tidak hanya mengenai mengelola airnya, tetapi juga mengelola daerah dimana air hujan itu tertangkap, termasuk kawasannya dan juga pengelolaannya ketika air itu sedang di gunakan, baik untuk irigasi, air rumah tangga atau industri yang sesudah terpakai akan di kembalikan lagi air badan sungai. Semua ini akan memberikan dampak pada wadah sungai.
“Hal-hal seperti inilah yang perlu dipertemukan didalam produk yang dinamai dengan pola pengelolaan SDA, yaitu kerangka acuan didalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan konservasi, pendayagunaan SDA dan pengendalian daya rusak air. Jadi cakupannya begitu luas karena banyak kepentingan dan bukan hanya pekerjaan PU. TKPSDA ini juga bukan miliknya PU,” ujar Imam, seraya mengingatkan bahwa, sekarang inisiatif penyusunan draftnya sudah ditetapkan oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) dan tidak beranjak dari bawah.
Setelah TKPSDA WS terbentuk, Imam Anshori menyatakan, draft rancangan pola pengelolaan SDA tersebut akan dicermati dan dibahas dalam rapat TKPSDA WS untuk disepakati dan selanjutnya disampaikan kepada Menteri PU untuk ditetapkan.
“Nanti akan lebih disempurnakan lagi ketika TKPSDA terbentuk. Draft rancangan pola ini wajib diisi oleh setiap unsur. Jadi produk pola itu jangan hanya berisi potret PU saja, tetapi harus ada yang mengambil peran, seperti peran lingkungan hidup, peran pertanian dan juga peran dari masyarakat. Harus terpotret di dalamnya. Tidak mungkin tanggung jawab semua yang terkait sumber daya air ini hanya berada di dalam satu instansi saja,” kata Imam.
Enam WS
Sementara itu dalam sambutannya, Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III, Ir. H. Irawan Hartono, MT, menyatakan, bahwa di Provinsi Kalimantan Timur sesuai Peraturan Menteri (Permen) PU No. 11A/PRT//M/2006 terdapat enam Wilayah Sungai (WS), yaitu WS Sesayap, WS Mahakam, WS Kayan, WS Berau-Kelay, WS Karangan, dan WS Kandilo.
“WS Sesayap yang merupakan WS Lintas Negara dan WS Mahakam yang merupakan WS Strategis Nasional menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Sedangkan empat sisanya merupakan WS Lintas Kabupaten/Kota yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Provinsi,” katanya.
Menurut Irawan, BWS Kalimantan III memiliki tugas untuk mempersiapkan dan melaksanakan pengelolaan SDA di WS Sesayap dan WS Mahakam. Diantaranya, melaksanakan penyusunan Pola Pengelolaan SDA dan memfasilitasi terbentuknya wadah koordinasi pengelolaan SDA di tingkat WS.
“Sampai tahun 2011, untuk kedua WS tersebut meski telah terbentuk rancangan Pola Pengelolaan SDA, namun masih dalam proses perbaikan. Dokumen Pola Pengelolaan SDA ini menjadi dokumen yang penting karena menjadi acuan seluruh kegiatan pengelolaan SDA di WS tersebut,” katanya.
Oleh karena itu, Irawan mengharapkan, agar seluruh pemangku kepentingan dapat berperan aktif dalam memberikan informasi, saran dan masukan bagi perbaikan dan penyempurnaan rancangan Pola Pengelolaan SDA ini.
Untuk mendukung pengelolaan SDA terpadu dan menjamin terintegrasinya seluruh kepentingan, Irawan menyampaikan, diperlukan koordinasi yang baik, efektif dan memberikan kesempatan yang sama dalam menyampaikan aspirasinya antara unsur pemerintah dan non pemerintah.
Terkait denganhal tersebut, BWS Kalimantan III pada tahun 2011 ini telah melaksanakan proses pemebnetukan TKPSDA WS Sesayap sejalan dengan amanat UU No. tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
“TKPSDA WS Sesayap ini memiliki tugas untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi dalam pengelolaan SDA sebagaimana amanat UU SDA dan PP No. 42/2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air,” paparnya.
Adapun para peserta acara tersebut adalah para calon anggota TKPSDA WS Sesayap yang berjumlah sekitar 24 anggota, dimana 12 anggota berasal dari unsur pemerintah dan 12 anggota lainnya berasal dari unsur non pemerintah.
Sedangkan narasumber acara dimaksud berasal dari Direktorat Bina Penatagunaan SDA –Ditjen SDA, Direktorat Sungai dan Pantai – Ditjen SDA, Seretariat Dewan SDA Nasional, Bappeda Provinsi Kaltim, BWS Kalimantan III, BLH Provinsi Kaltim, dan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kaltim.**